Hari Gini Masih Bicara Poligami Boleh atau Tidak?


Terus terang saya sangat heran, mengapa dalam setiap kajian yang menyangkut “Perempuan dan Islam”, diskursus yang berada di peringkat atas untuk dibahas adalah soal poligami (disamping beberapa isu lainnya yang juga toplist). Memangnya ada apa dengan poligami? Praktik poligami itu sudah berlangsung sejak manusia diciptakan di muka bumi. Orang-orang yang mempraktikkan poligami, belum tentu rumah tangganya tidak hancur? Banyak yang berujung pada kehancuran meskipun banyak pula yang bersembunyi di balik dalih, “Poligaminya belum sesuai ajaran agama.” atau apalah. Demikian pula bagi yang monogami juga tidak terlepas dari yang namanya kegagalan membina rumah tangga. Sekarang menikah besoknya bercerai. Demikian pula banyak contoh baik monogami dan poligami ternyata “aman-aman” saja rumah tangganya. Kalau tidak percaya, lihat saja Kiai-Kiai atau Raja-Raja yang berpoligami, dinasti mereka beranak pinak bahkan terus langgeng.

So, masihkah kita membicarakan soal apakah poligami itu boleh atau tidak? Apalagi jika dibenturkan dengan modernisasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan segala isu lain. Berpoligami dan dipoligami adalah hak bagi tiap manusia untuk melakukannya atau menolaknya. Bagi pria-pria yang ingin berpoligami ya carilah perempuan-perempuan yang mau dipoligami, jangan paksa perempuan yang menolak poligami untuk bisa dipoligami. Kalau ada unsur pemaksaan jelas bisa dianggap telah melakukan kejahatan dan melanggar hak-hak orang lain. Sama seperti kalau saya memaksa anda dengan berbagai macam cara untuk masuk ke dalam agama saya dan menyembah Tuhan saya. Balik lagi ke poligami, praktik tersebut sebagaimana saya katakan bahwa sudah menyejarah, maka memang seorang pria dalam lintasan sejarah banyak yang melakukan poligami. Mau Nabi-Nabi, Raja-Raja, Khalifah-Khalifah, dan apapun gelarnya, bahwa poligami sudah menjadi sesuatu yang nature bagi kaum lelaki. Entah apakah praktik itu didukung dan dibekengi oleh peraturan yang dibuat manusia sendiri atau Tuhan sekalipun. Jadi, wajari saja bahwa poligami adalah praktik sosial yang lumrah.

Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan yang terjebak dalam lingkungan atau budaya poligami yang ada di dalam keluarganya, sedangkan mereka tidak ingin dipoligami?

Memangnya ada ya kondisi terjebak semacam itu?

Barangkali saja ada; semisal jika ada orang tua yang miskin secara finansial namun punya anak perempuan cantik dan ditaksir oleh salah seorang tokoh yang sudah beristri. Lalu orang itu ingin memeristri anaknya, sementara si perempuan ini tidak ingin dipoligami tetapi orang tuanya memaksa anaknya agar menerima pinangan pria itu. Dalam kondisi seperti itu kan ada banyak pilihan yang bisa diambil; apakah pasrah mengikuti kemauan orang tuanya, atau memberontak melawan keinginan mereka? Yang jadi persoalan kemudian adalah apabila si anak perempuan ini ingin melawan keinginan orang tuanya.

Atau katakanlah kondisi orang tuanya bukan orang miskin dan kesulitan secara ekonomi, akan tetapi si anak perempuan berada dalam sistem keluarga yang sudah puluhan atau ratusan tahun leluhur keluarga itu banyak yang mempraktikkan poligami, bahkan sudah menjadi semacam tradisi di dalam keluarga. Lantas si anak perempuan tersebut ingin memberontak tradisi. Permasalahannya adalah apakah dia berani melakukan itu atau tidak, sekali lagi jawabannya diisi oleh banyak pilihan. Dan untuk mengambil pilihan itu memang diperlukan keberanian yang ekstra. Terlebih jika dia mengambil pilihan untuk melawan tradisi keluarganya. Namun bagaimanapun juga menerima dan menolak poligami adalah hak masing-masing individu, terutama bagi kaum perempuan.

Ada nasihat yang diberikan oleh Mahatma Gandhi, “Kita tidak bisa memberontak kepada pemerintah sebelum kita memberontak kepada diri sendiri.” sekilas tidak nyambung. Tetapi jika kita menganggap kalimat itu penuh metafora, maka dapat saja kita memaknai bahwa “pemerintah” di sini adalah simbol dari hal-hal yang mendominasi diri kita dalam kehidupan yang kita jalani. Dan poligami sebagai sebuah praktik menyejarah yang sudah dikonstruk sekian puluh, ratus, juta tahun lamanya dapat pula kita anggap sebagai dominasi budaya atau sistem sosial terhadap individu (Yang mau pakai istilah Gramsci, Hegemoni budaya ya monggo). Namun bagaimanapun juga sikap kita secara individu terhadap praktik poligami adalah kembali kepada masing-masing individu sebagai sebuah pilihan yang bisa kita ambil atau tolak, yang bisa kita jalani atau lawan, yang bisa kita terima atau buang. Dan setiap pilihan yang kita pilih pasti ada konsekuensi dan risiko yang harus kita terima.

Lagipula di zaman sekarang ini untuk apa ngotot ingin mengubah sesuatu yang sudah menjadi dogma atau doktrin seperti ajaran agama yang membolehkan poligami. Percuma dan hanya menghabiskan tenaga saja. Namanya doktrin itu stagnan dan normatif. Namun praktik di masyarakatlah yang jelas mencerminkan bagaimana justru doktrin itu sendiri menjadi dinamis. Artinya, menurut saya pembahasan seputar apakah poligami boleh atau tidak itu sudah habis karena jawabannya akan mentok. Bagi yang membolehkan akan terus berpegang teguh dengan doktrin bolehnya poligami. Bagi yang tidak setuju akan menentang doktrin dan terus membahas berbusa-busa dengan berharap suatu hari isi doktrin itu akan berubah bagaimanapun caranya. Begitu dan begitu terus.

Bosan nggak sih? bagi yang tidak bosan silahkan saja. Tetapi bagi yang sudah bosan dengan perdebatan kuno semacam itu, kembalilah pada realitas masyarakat dan invidu masing-masing. Itu hak kita pribadi apakah mau dipoligami atau tidak mau dipoligami. Sekali lagi bukan soal “doktrin poligaminya” tetapi praktiknya antara mau dan tidak mau. Kalau tidak mau, ya harus siap melakukan perlawanan apabila dilamar pria-pria beristri banyak. Mau perlawanan lembut atau vokal sekalian hanya soal teknisnya saja. Dan kesimpulannya dari perdebatan yang hanya berkutat pada soal doktrin atau dogma mengenai boleh tidaknya poligami, tidak lain hanya sia-sia belaka.

Kayak nggak ada bahasan lain aja.” ya, dipoligami atau tidak dipoligami tidak menjamin bahwa pernikahan yang kita jalani bahagia, langgeng, dan sepi dari masalah. Demikian pula masalah akan selalu ada dalam kehidupan rumah tangga, baik yang berpoligami atau tidak. Tinggal hadapi saja semuanya.

Tinggalkan komentar