Peredaran Miras; Benturan Kepentingan dan Konsensus


Indonesia lawyers Club pada selasa kemarin (31/1/2012) membahas soal tragedi Tugu Tani, narkoba, dan miras. Akan tetapi yang akan saya soroti adalah soal miras. Termasuk peredaran miras di diskotik atau klub-klub malam. Mau tidak mau yang namanya klub malam pastilah ada minuman beralkohol yang sering kita bilang miras. Boleh saja kita membandingkan dengan pengaturan Miras di Amerika dan negara Eropa bahwa di sana hanya 21 tahun ke atas yang diperbolehkan secara legal formal membeli miras. Teknisnya pun diatur, seperti dikatakan oleh pembawa acara ILC, harus memerlihatkan KTP dan hanya dijual toko-toko tertentu yang memang mendapatkan surat izin penjualan miras. Adapun pengawasan mengenai peraturan tersebut benar-benar diselenggarakan dengan ketat. Sedikit melanggar, maka hak atau izin menjual miras tersebut akan dicabut. Bandingkan jika di Indonesia di mana perizinan sangat lemah dan demikian pula dengan pengawasannya, maka hukum pun tak dapat ditegakkan.

Belum lagi jika dilihat dari aspek sosial masyarakat, di mana tuntutan masyarakat dalam arus mainstream adalah agar miras benar-benar digeneralisasi harus dilarang. Tidak seperti di Barat yang diperbolehkan dengan berbagai macam ketentuan, dan miras pun juga menjadi barang yang dikonsumsi oleh masyarakatnya bahkan sebelum berdiri negara-negara Eropa modern seperti sekarang. Sedangkan di Indonesia, masyarakatnya memang benar-benar menuntut agar miras dilarang beredar seratus persen. Maka ketika pemerintah memberikan izin kepada sejumlah tempat seperti diskotik dan klub malam untuk membuka usahanya plus menjual miras dengan merek-merek terkenal, fenomena itu menjadi sorotan di tengah publik. Pengusaha klub malam biasanya memang berlindung di balik izin-izin tersebut. Dampaknya adalah diskotik-diskotik yang tidak punya izin pun dijadikan sasaran emosi oleh warga. Lagi-lagi yang dijadikan alasan ialah soal izin walaupun pemicu utamanya adalah persoalan peredaran miras. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Tasikmalaya. Massa mengamuk menghancurkan diskotik dengan alasan-alasan sebagaimana yang saya sebut di atas.

Masyarakat kerap menganggap polisi tidak tegas dalam menindak miras, namun yang dijadikan landasan bukanlah bahwa miras boleh beredar asalkan ada izin atau tidak, melainkan bahwa miras sama sekali haram dan peredarannya harus dilarang karena dapat menimbulkan penyakit masyarakat termasuk kebejatan moral. Artinya, terjadi dua konsensus yang bertentangan antara aparat dan masyarakat. Aparat hanya mengacu pada ketentuan, undang-undang, peraturan normatif sementara konsensus masyarakat berdasarkan norma lain semisal agama. Belum lagi timbul praktik-praktik oknum aparat atau pejabat yang disinyalir ada “main” dengan para pengusaha klub malam dalam persoalan miras tersebut. Tentu saja masyarakat makin gerah, maka muncullah komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok yang menggalang persatuan di antara sesama orang “gerah” ini untuk melakukan aksi nyata. Turun ke jalan dan menghancurkan diskotik-diskotik yang menjual miras, tak perduli sudah dapat izin atau tidak dapat izin.

Bahkan sampai-sampai ada celetukan, “Kalau tidak mau digrebek oleh ormas anu, harus siap bayar setoran juga.” dari orang-orang yang merasa “tahu” tentang permainan grebek-menggerebek diskotik dan klub-klub malam. Persoalannya menjadi pelik memang jika antara berbagai macam kepentingan saling berbenturan. Dampaknya adalah ketika terjadi pengrusakan terhadap klub malam dengan dalih menjual miras, maka polisi sengaja menggunakan alasan telat datang. Padahal bisa saja dan mungkin polisi sudah mengendus ada gerakan-gerakan massa yang siap menggerebek tempat-tempat tertentu. Namun agar tidak berhadapan dengan konsensus masyarakat dan dituding bahwa aparat turut menyeponsori penjualan serta peredaran miras, maka lebih baik timbul korban. Toh, masyarakat juga tidak ada yang komplain apabila diskotik dan klub malam dihancurkan oleh sejumlah ormas, kelompok, dsb. Bahkan justru bersyukur serta berterima kasih dengan adanya “pahlawan” jalanan yang berani bertindak sementara yang lain sudah tak perduli.

Tanpa adanya kesepakatan tersebut mindset atau pola pikir masyarakat dalam menyikapi permasalahan tentang miras juga akan terpecah belah. Misalkan begini, di Korea tradisi minum-minuman beralkohol adalah biasa sehingga kalau ada dua kawan pergi ke tempat yang menjual miras dan kemudian salah satunya ada yang mabuk setelah minum-minum, maka akan dianggap hak dia untuk mabuk. Tetapi tidak di Indonesia, karena banyak yang menganggap miras adalah haram dan terlarang, sikap yang ditunjukkan dalam berinteraksi dengan miras maupun dengan peminum miras akan berbeda.

Jadi bagaimana sekarang? bagaimana konsensus yang akan kita terapkan dalam mengonstitusi peraturan yang berlaku di masyarakat dan ranah publik, apakah ala Barat sana, atau justru ala bangsa kita sendiri. Bolehkah miras beredar dengan berbagai macam ketentuan, peraturan dan pengawasan yang ketat? Ataukah sama sekali diharamkan dan dilarang, baik konsumsinya, penjualannya, peredarannya, dan sebagai macamnya yang menyangkut dengan transaksinya? Jika kita tidak berhasil membangun serta menyepakati landasan konsensus yang sama, maka menurut saya fenomena yang terjadi di masyarakat akan terus menerus seperti itu. Kerugian baik di pihak pengusaha klub-klub malam, aparat yang turun ke jalan, dan juga masyarakat.

Tinggalkan komentar