Jilbab Sebagai Politik Identitas dan Politik Anatomi Tubuh Perempuan


polwan jilbab

 

Jilbab pernah menjadi korban dari kecurigaan rezim terhadap kelompok Islam Politik. Jilbab oleh Orba diartikan secara sederhana sebagai representasi kelompok Islam ekstrimis yang bisa mengganggu keamanan negara. Jilbab bukan lagi dianggap sebagai pilihan religius individu, tapi sejenis bentuk pemberontakan sehingga setiap Muslimah yang menggunakan jilbab dicurigai idiologinya dan kesetiaannya kepada Negara. Pada tingkat inilah Jilbab yang merupakan sebuah pilihan dan hak individu dalam mengartikan agamanya kemudian ditarik ke ranah politik oleh Orba.

Tentu saja persepsi mengenai jilbab adalah representasi dari politik adalah tuduhan yang naif dan ahistoris. Namun di sisi lain, orang lebih suka diam atau tidak mempersoalkan, jika sudah masuk ke dalam isu pakaian muslim. Kritik atau mempersoalkan sesuatu yang dianggap sebagai identitas Islam bisa mengundang kemarahan. Ada beragam jenis pakaian yang diinterpretasikan sebagai busana muslim: cadar atau burqa yang biasa dipakai kelompok Salafi dan hanya memperlihatkan mata. Ada pula jilbab panjang dan longgar yang hanya memperlihatkan wajah. Khusus di Indonesia, ada banyak perempuan muslim yang hanya menyampirkan kerudung di kepala dan masih memperlihatkan bagian rambut: sesuatu yang dianggap aurat dan tidak boleh diperlihatkan di muka umum bagi kelompok fanatik.

Pakaian muslim mulai menjadi trend di Indonesia pasca Revolusi Iran. Saat itu jilbab atau cadar dipakai sebagai simbol perlawanan terhadap rezim orde baru yang otoriter. Rezim diktator militer Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, berkuasa di Indonesia sejak 1966 hingga 1998. Terutama setelah revolusi Iran pada tahun 1979, kelompok militer yang berkuasa di Indonesia melihat Islam sebagai sebuah ancaman politik. Hasilnya: larangan atas penggunaan jilbab di sekolah atau kantor pemerintah. Secara umum, ekspresi politik kelompok Islamis ditindas selama orde baru.

Sami Zubaida menulis tentang hal tersebut dalam bukunya Law and Power in the Islamic World. Pada tahun 1928, Permaisuri dari Reza Khan (1877-1944, Reza Khan adalah Syah Iran, ayah Reza Pahlevi yang dilengserkan oleh Ayatullah Khomeini) mengunjungi tempat ziarah di kota suci Qum di Iran. Sewaktu doa-doa dan zikir sedang dilantunkan, permaisuri tampak tetap tidak memakai jilbab. Dia berpakaian seperti pakaian perempuan modern Eropa pada waktu itu. Hal ini mengusik pikiran seorang ayatullah, namanya Ayatullah Bafqi, ia lalu mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada sang permaisuri: “jika Anda bukan seorang Muslimah, kenapa Anda datang ke tempat suci ini? Jika Anda seorang muslimah kenapa Anda tidak memakai jilbab?” Tapi sang permaisuri cuek bebek saja. Ayatullah Bafqi tampak kesal. Ketika Ayatullah Bafqi menyampaikan khutbahnya, ia mulai mengkritik Syah Iran, dan memprovokasi para hadirin. Syah Iran akhirnya mengetahui insiden ini. Syah Iran pun marah. Ia lalu datang ke kota Qum. Bersama pengawalnya ia masuk ke tempat ziarah dengan tidak membuka sepatu boot. Ia mencari Ayatullah Bafqi, sewaktu ketemu, sang ayatullah pun dihajar habis, dan kemudian dipenjarakan. Selang beberapa lama kemudian, Syah Iran menerapkan hukum uniformitas busana yang melarang perempuan memakai jilbab, dan laki-laki memakai surban (dispensasi hanya diberikan untuk para ayatullah). Polisi pun dikerahkan untuk menerapkan hukum ini. Jika ada yang memakai jilbab di jalan-jalan, atau ada yang pakai surban tapi yang bersangkutan bukan ayatullah, maka polisi berhak untuk membuka pakaian itu secara paksa.

Memang mungkin banyak orang mendasarkan, khususnya kaum perempuan, jika ditanya mereka akan menjawab bahwa alasan mereka yang memakai jilbab adalah karena dalil ajaran agama. Hingga tahun 1990-an, fenomena jilbab sudah tidak terbendung lagi. Dengan dibolehkannya anak perempuan memakai jilbab di sekolah umum, maka lengkap sudah popularitas jilbab di kalangan perempuan Indonesia. Semakin sering pejabat publik, bahkan waktu itu termasuk Mbak Tutut, anak perempuan tertua Presiden Soeharto, sering terlihat tampil di media dan ruang publik dengan kerudungnya yang khas. Pada tahun-tahun ini pula, istilah cadar dan penggunaannya mulai terekspose dengan sedikit lebih gencar. Hal ini sejalan dengan keterbukaan politik bagi umat Islam, dan dinamika keislaman yang semakin subur di Indonesia.

Namun di sisi lain, jilbab juga merupakan komoditas politik. Misalnya, dalam perda Aceh. Razia jilbab yang dilakukan pada 5 Februari 2014 kembali terjadi diskriminasi terhadap perempuan non-muslim di Aceh. Pasalnya dalam razia tersebut, perempuan non muslim diminta untuk memakan jilbab. Permintaan tersebut jelas mengabaikan dan menghilangkan makna keberagaman dan toleransi di Aceh. Selain politik identitas, jilbab juga memainkan peran politik anatominya. Pada masa Orba, rezim tersebut menerapkan kekuasaan represif atas fenomena jilbab. Lahirnya perda-perda syariah di tiap daerah yang meregulasi tubuh, utamanya perempuan, dengan jilbab. Tubuh individu menjadi tubuh sosial. Jika di Barat, mekanisme dan manajemen regulasi tubuh didasarkan pada definisi medis, direpresentasikan dengan pengetahuan medis. Sedangkan di Indonesia, atau di dunia Islam, dengan pengetahuan yang bersumber dari dogma agama.

Ada relasi antara kebutuhan akan bentuk karakteristik dari produksi-kapitalisme. Agar produksi industri dan komoditas efektif, tubuh harus terpercaya ditempatkan dalam proses produksi. Tubuh yang terbungkus hijab atau jilbab, divisualkan memiliki kehidupan yang baik dan bahagia. Sekalipun ada fenomena seperti pada kasus-kasus korupsi yang menimpa perempuan-perempuan berhijab, produk ‘penutupan aurat’ itu akan dipisahkan dan disakralkan lebih dulu. Sementara itu, gambaran hijab yang ‘suci’ kedudukannya terus diproduksi membanjiri pasar, mengiklankannya di mana-mana agar orang-orang berbondong membeli dan memilikinya.

Narsisisme ini tidak hanya menghasilkan begitu banyak jenis pakaian dipajang dan dijual di toko-toko sehingga kita tinggal memilih mode mana yang ingin dipakai, yang sesuai dengan setiap musim. Para ahli agama bekerja menjalankan aturan-aturan tentang normalitas dan pelanggaran, dan resep-resep ini dikhotbahkan di mimbar. Pengaturan wacana demikian itu bermuatan gender; adalah hal yang biasa bagi tubuh laki-laki dan tubuh perempuan patuh kepada resep-resep yang sangat berbeda berkenaan dengan aktivitas seksual. Perubahan model beragama dan perubahan bentuk produksi komoditas itu semakin tidak terbendung, menjadikan fenomena jilbab seperti sekarang ini. Pada saat yang sama, jilbab tidak lagi melulu soal ketaatan, kesalehan, kepatutan, kesopanan, ataupun resistensi. Jilbab masuk ranah industri (busana). Jilbab menjadi komoditas dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Satu respons untuk “Jilbab Sebagai Politik Identitas dan Politik Anatomi Tubuh Perempuan

Tinggalkan komentar