Mengapa Feminis, Bukan Equalis? Agar Feminisme Tidak Kotor dan Ditabukan


feminis not equali

Ada pertanyaan yang kerap ditujukan kepada feminis. Mengapa menyebut diri Anda feminis (feminist), bukan equalis (equalist)? Lagi pula, jika feminisme berlaku untuk semua orang, mengapa ada suku kata fem? Jika itu untuk kesetaraan, mengapa hal itu menyinggung satu gender tertentu dan tidak kepada yang lain?

Mungkin jika Anda menggunakan kata “equalis” akan memastikan bahwa Anda tidak akan mengintimidasi orang lain, bahwa Anda memperjuangkan semua orang, dan orang lain tidak akan melihat Anda sebelah mata. Tapi ternyata Anda hanya akan menjadi orang yang bermurah senyum dan apologetik dengan perkataan seperti, “saya cuma ingin semua orang memiliki kesetaraan kok, baik pria dan wanita.”

Itu membuat Anda benar-benar tidak menyinggung persoalan relasi kuasa, dan dengan demikian, mengaburkan gerakan perjuangan akan kesetaraan yang Anda dengungkan. Perempuan yang menggambarkan diri mereka sebagai equalis tampil sebagai orang yang takut akan konflik dan cuma ingin disukai siapa pun. Sedangkan relasi kuasa tak bekerja seperti itu. Demikian pula, pria yang menyebut diri mereka equalis, adalah orang yang ingin menyangkal bahwa masih banyak tantangan-tantangan kesetaraan yang dihadapi perempuan.

Yang benar adalah, feminisme berusaha untuk inklusif, termasuk kepada pria dan juga LGBT. Feminisme juga memperjuangan ras dan seksualitas yang terpinggirkan. Kata “feminisme” tidak bertentangan dengan itu semua. Gerakan feminis dimulai untuk memperjuangkan kaum perempuan mencapai kesetaraan, dan ini mencerminkan fakta bahwa perempuan secara historis telah kehilangan hak dan dibungkam.

Yang keliru adalah tudingan bahwa, gerakan feminisme hanya fokus kepada emansipasi perempuan dan perempuan berada di atas kategori gender lainnya, juga ingin menindas laki-laki. Itu keliru. Justru mereka yang berkata seperti itu akan sangat mencurigakan lantaran hendak menyamarkan fakta bahwa mereka merasa tidak nyaman dengan gagasan feminisme, sejarah patriarkat yang menindas perempuan, dan ujung-ujungnya justru menentang feminisme itu sendiri.

Inilah beberapa alasan mengapa feminis terus mengidentifikasi dengan istilah tersebut daripada menggunakan yang lain.

1. Menjadi feminis berarti menjadi inklusif

Sian Ferguson dalam Everyday Feminism berpendapat, feminisme bukan hanya tentang melawan patriarki lagi. Ini berevolusi untuk memerangi keseluruhan “kyriarchy”—sebuah sistem hierarkis yang menempatkan pria di atas wanita dan non-binary people, orang kulit putih di atas ras lain, orang-orang di atas hewan, dan banyak lagi. Dengan cara yang sama, feminisme mengadvokasi dan memperjuangkan nasib banyak kelompok.

2. Perempuan dan identitas gender lain telah dimarjinalkan sekian lama

Kaum feminis juga memerangi tipologi atau stereotip maskulinitas, yang membakukan standard di mana pria harus kuat, tangguh, dan tanpa emosi. Tetapi jika Anda mengkaji stereotip gender, biasanya Anda akan menemukan bahwa mereka memiliki kesamaan: Bahwa stereotip maskulinitas dan lelaki ditempatkan di atas perempuan dan kategori gender lain. Bahkan jika merugikan laki-laki. Misalnya, gagasan bahwa pria tidak boleh menunjukkan emosi didasarkan pada gagasan bahwa wanita lebih emosional. Padahal, itu sama sekali tidak rasional. Menjadi feminis bukan dikarenakan ada beberapa kelompok tertentu yang harus mendapatkan perhatian dan hak lebih dibandingkan yang lain. Tetapi karena memang mereka tidak mendapatkannya.

3. Gerakan feminisme telah menyejarah panjang

Penggunaan kata feminisme yang pertama kali dicatat pada tahun 1852, dan bahkan jauh sebelum itu walau tanpa ada nomenklaturnya. Bahkan ada yang menggunakan istilah tersebut untuk tujuan merendahkan. Sebuah surat kabar pada tahun 1914 menggambarkan feminisme sebagai istilah yang “mewujudkan hak-hak perempuan,” dan tetap saja demikian sampai saat ini. Untuk mengubah nama gerakan akan menulis ulang sejarah.

4. Memberantas feminisme adalah suatu kemunduran

Jika seseorang yang mengaku feminis kemudian mengatakan, “Baiklah, kita equalis,” maka kita akan menyerah pada orang-orang yang mencoba mendefinisikan kembali feminisme secara negatif. Seharusnya seorang feminis tidak mudah berapologi. Jika kita mempersoalkan istilah feminisme biasanya disusul dengan menyamarkan masalah dan melepaskan keterkaitan feminisme itu sendiri. Itu terbukti jika Anda melihat orang-orang yang kerap bicara “egalitarianisme” malah menggunakan istilah itu untuk menolak fakta adanya misogini, dan sah-sah saja mendiskreditkan wanita. Nama gerakan memang tidak terlalu penting, kecuali jika mengubahnya karena berpura-pura ada yang salah dengan itu. Padahal, tidak ada sama sekali.

5. Feminisme akan tetap ada apa pun istilahnya

Feminisme tetap akan menjadi apa adanya terlepas dari sebutan apa yang kita gunakan. Semua perdebatan tentang semantik ini melenceng jauh dari apa yang sedang diperjuangkan oleh feminisme—dan begitu juga usaha untuk mengubah gerakan tersebut. Kita tidak boleh terjebak dalam perdebatan sehingga melupakan fokus utama untuk melawan sistem hierarki yang mendominasi tatanan kehidupan kita.


Disadur dari artikel 5 Reasons We Say “Feminist,” Not “Equalist,” Because “Feminism” Shouldn’t Be A Dirty Word.

Tinggalkan komentar