Rela Jadi Buruh Demi Gaji Dollar?


Saya heran saja jika ada orang Indonesia yang berpikiran untuk rela jadi buruh asal digaji dollar. Sampai di situkah tingkat modal sosial (social capital) bangsa ini. Sedemikian rupakah mental orang Indonesia. Padahal para petani negeri ini kesulitan menukar harga gabah dengan harga sabun. Sementara basis perekonomian pemerintah kita berlandaskan investasi asing, dan daerah industri di negara ini terpusat di Jawa, lebih spesifik lagi di Jakarta. Lalu di mana kata pemerataan ekonomi apalagi kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah. Belum lagi sekarang pemerintah mulai melansir rencana pembangunan jangka panjang. Tetapi logikanya pembangunan jangka panjang apa yang akan diraih jika terus berbasis investasi asing, dan mengendalikan krisis yang ada di depan mata saja tak sanggup.

Sementara nilai tawar Indonesia untuk negara kecil seperti Singapura yang menjadi pintu masuk investasi asing ke Indonesia, malah semakin lemah atau bahkan tak berdaya sama sekali. Akhirnya persoalan merembet ke mana-mana, seperti ke bidang penegakkan hukum, sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Secara tak sadar tiap individu di negara ini digerogoti pribadinya sendiri oleh orang asing. Ada kekuatan-kekuatan besar di luar yang melihat Indonesia sebagai lahan pasar yang berpotensi sangat besar. Contohnya nyata sekali di Jakarta, pembangunan terus berlanjut secara kasat mata walaupun bersandar pada modal asing. Yang terjadi adalah bukan pembangunan Indonesia, melainkan pembangunan di Indonesia. Sedangkan rakyat negeri ini saban hari jadi penonton.

Lalu pemerintah gencar berkoar soal peningkatan kompetensi dan daya saing. Bagaimana di satu sisi pemerintah mendukung aliran bebas modal asing menggerus industri-industri lokal sementara terus bilang peningkatan daya saing. Padahal banyak industri lokal, utamanya yang mikro, terus gulung tikar. Atau misalnya pemerintah cuma melihat data statistik perihal peningkatan ekspor, tapi ternyata yang diekspor adalah barang mentah kemudian dikirim balik ke Indonesia menjadi barang jadi, diberi brand top dunia, dipasarkan melalui waralaba milik asing di Indonesia, lalu dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sendiri dengan nilai tak sebanding.

Contoh lain sekarang pemerintah sedang mensosialisasikan subsidi BBM hanya untuk rakyat miskin. Tetapi subsidi terhadap BBM perlahan-lahan dikurangi. Sementara perusahan-perusahaan minyak asing terus mendesak pemerintah agar mencabut subsidi. Lalu di mana keberpihakan pemerintah, apakah kepada rakyatnya atau kepada industrialis asing yang seenaknya ingin menyedot kekayaan sumber daya alam negeri ini.  Yang terjadi malah adanya program rekayasa Bantuan Langsung Tunai yang itu pun didasari oleh hutang. Beginikah cara pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Belum lagi program tersebut digunakan untuk membangun citra partai politik tertentu di kala pemilu.

Lantas mengapa masih ada yang memiliki mind set untuk selamanya jadi kacung, lebih baik jadi buruh tapi bergaji tinggi, katakan pakai dollar. Sementara dirinya pribadi menyadari keterpurukan kian menghimpit kondisi bangsa ini. Kalau seluruh rakyat Indonesia paradigma berpikirnya telah dicuci sedemikian rupa, sampai kapan pun kita akan tetap jadi bangsa buruh bagi negara-negara lain.

Boro-boro mau mengentaskan kemiskinan dengan target 2015, iya kalau standarnya statistik. Itupun hanya digunakan menjelang 2014 untuk mengumbar janji pengentasan kemiskinan. Karena memang begitu biasanya fungsi data statistik, cuma untuk pemuasan sepihak bagi para penguasa. Tetapi realitas besarnya sebagai bangsa buruh ya akan tetap sama. Dalam kalimat lain, mau digaji pakai mata uang apapun ya tetap sama posisi rakyat Indonesia, tetap menjadi buruh belaka. Nantinya akan tercipta sebuah gaya hidup dari mainstream berpikir para orang tua, mencetak anak cuma untuk jadi orang suruhan di tanah airnya sendiri.

Di balik slogan indah pengentasan kemiskinan atau pemerataan kesejahteraan, yang sebenarnya terjadi justru pelebaran jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Makanya jangan salahkan jika makin banyak kriminalitas dan kekerasan, karena mau bagaimanapun berdalih, tetap saja motifnya adalah determinisme ekonomi dan politik. Kalau bahasa agamanya yang sering dikutip penceramah di mimbar-mimbar, “kemiskinan lebih dekat kepada kekufuran.” Interpretasi sosiologisnya bahwa patologi sosial dalam ruang publik turut disebabkan oleh faktor ekonomi. Contoh riilnya kejadian tahun 1998, baru digoncang krisis saja langsung timbul chaos di mana-mana. Padahal motif politiknya seolah mentereng, yakni bersifat ideologis, melengserkan dominasi fasis rezim orde baru, tetapi yang disisakan bagi rakyat kok malah aksi penjarahan disertai tindakan brutal. Ternyata determinisme ekonomi juga memainkan peran di sana.

Karena yang terasa di masyarakat pertama kali memang faktor ekonomi tersebut. Bicara pendidikan larinya ke biaya sekolah mahal, bicara kesehatan ujung-ujungnya soal pembayaran biaya a, b, c, d.  Bicara penegakkan hukum juga mengungkit perbedaan sikap yang ditujukan untuk kelas masyarakat miskin dan kaya. Sedangkan pemerintah tak sanggup membenahi persoalan ekonomi rakyatnya. Terus mengharapkan modal luar negeri atau pinjaman lembaga-lembaga finansial dunia. Seketika dicabut baru pemerintah kalang kabut. Paradigma beginikah yang mau terus kita tanamkan dari generasi ke generasi. Mencetak mereka agar terus mengemis dan meminta, bahkan ketika generasi penerus itu menjadi elit pejabat negeri, pola pikirnya masih sama dan mengeluarkan produk kebijakan politik ekonomi yang sama.

Untuk apa bangga punya harta berlimpah tapi bagian dari jaringan korporasi asing yang menjual negerinya sendiri dan menjadikan orang-orangnya sebagai mesin pencetak uang belaka.

Tinggalkan komentar