Terlarang Hina Presiden, Doakan Saja Biar Cepat Mati


thank_you_mr_president_bush_hero_patriot_america_fuck_yea_demotivational_poster_1237700289-s640x527-171188

Rancangan KUHP menuai polemik terkait pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Aturan ini tertulis dalam Pasal 265 dan 266 RUU KUHP usulan Kemenkumham yang tengah digodok DPR.

Pasal 266 selanjutnya menentukan bahwa: ‘(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV’.

‘(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g’.

Untuk lebih lanjut mengenai beritanya bisa jelajah sendiri di google, atau klik di sini untuk referensi yang saya peruntukkan bagi tulisan ini.

Sementara itu di situs Kompas, Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan norma UUD 1945. Sehingga, pasal tersebut tidak dapat dihidupkan lagi.

“Yang jelas itu bertentangan dengan konstitusi. Yang dibatalkan itu bukan pasalnya, tapi normanya. Normanya itulah yang bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak boleh dihidupkan lagi,” kata Akil, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (5/4/2013).

Selain itu, katanya, pasal penghinaan terhadap presiden pernah diuji materi sehingga tak dapat diterapkan lagi.

“Itu kan melanggar konstitusi. Melanggar hak negara, lalu kenapa harus dihidupkan lagi. Di negara mana pun, pasal yang sudah dicabut tidak boleh hidup lagi,” katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko mengatakan, jika ekpresi masyarakat dianggap menghina kekuasan, maka kekuasan telah menampakkan diri dengan wajah yang sebenarnya.

“Masuknya pasal penghinaan presiden, selain sebagai kemunduran demokrasi, juga memberi sinyalemen bahwa pemerintah/penguasa belum siap mendapat kritik dari masyarakat, sebagai refleksi perilaku kekuasaan yang dianggap abai terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat,” jelasnya.

Menurut Budiman, Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah mencabut pasal-pasal yang memiliki semangat mengultuskan kekuasaan. Artinya, dalam kajian hukum MK, semangat mengultuskan kekuasaan tidak sesuai UUD 45 yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.

“Langkah pemerintah yang berupaya memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP, adalah perwujudan wajah bengis kekuasaan, yang dengan legitimasi undang-undang sewaktu-waktu dapat memberangus demokrasi dan memorak-porandakan civil society,” kata politisi PDI Perjuangan ini.

===================================================

Beberapa hari lalu saya lihat perdebatannya pagi-pagi di TV One antara Denny Indrayana dan Budiman Sudjatmiko seputar topik ini. Si Wakil Mentri Hukum itu bersikeras perlunya dihidupkan kembali pasal mengenai penghinaan presiden di dalam KUHP sekaligus perlunya diberi kategori-kategori serta persyaratan mengenai apa yang dapat diklasifikasikan sebagai “penghinaan”. Salah satu alasannya adalah menyangkut kewibawaan simbol negara.

Ketika melihat dialog itu saya kok jadi teringat banyak sekali video-video di Youtube yang menghina presiden Amerika George Walker Bush dengan berbagai macam parodi dari yang menggelikan sampai menjijikkan. Bahkan, dilakukan oleh orang Amerika sendiri.

Ketika menjelang pemilihan umum di mana pertama kali Obama mencalonkan diri, sejumlah selebriti di Amerika ditanyai mengenai pendapat mereka tentang calon dari Demokrat yang berkulit hitam dan kemudian ada selebriti Amerika, kalau tidak salah Chris Tucker, Anda bisa mencari rekamannya sendiri di Youtube jika belum dihapus.

Dalam suatu sesi wawancara dia ditanyai pendapatnya mengenai pemilu, lalu dia menjawab, “Apa salahnya dengan presiden berkulit hitam? Tidak ada masalah dengan dia, kita juga pernah punya presiden yang gila (the retard one).” katanya. Entah dia mengacu pada siapa, tapi waktu itu momennya adalah menjelang pemilu presiden yang mana Bush tinggal menghitung hari karena telah memimpin dua periode.

Sekarang mari lihat sendiri, setiap orang berdemo, hitung berapa orang yang tidak menghina presiden? Orang yang demo Amerika dan Israel akan menghina-hina presiden negara lain. Padahal, presiden negara lain itu adalah simbol negaranya juga. Demikian pula jika ada mahasiswa, misalnya, banyak yang menghina presiden SBY ketika beliau ada kunjungan ke daerah atau ke tempat-tempat tertentu. Yang begitu itu mau ditangkapi satu per satu terus dikurung selama lima tahun? Gila banget ya jabatan presiden ini. Cuma karena menghina lantas seseorang harus kehilangan usianya lima tahun di penjara di mana selama menjalani hukuman itu kemungkinan presiden yang dia hina sudah tidak lagi jadi presiden.

Jadi, apa salahnya dengan menghina presiden di muka umum? Benarkah karena kita menghina simbol negara lantas negara ini jadi tidak berdaulat dan kehilangan wibawanya di mata internasional dan juga rakyat Indonesia?

Ataukah penghidupan kembali pasal penghinaan presiden ini merupakan taktik untuk mengokohkan kembali cengkeraman sistem politik “ABS (Asal Babe Senang)?

Saya tak perlu pakai alasan demokratis dan tidak demokratis. Saya memang tidak suka dengan negara ini, apalagi birokrasi, politik, aparat, parpol, ormas, hukum, sistem sosial, dan lainnya. Saya ingin sekali dipecat jadi warga negara ini dan pindah jadi warga negara lain. Sayangnya, orang-orang Indonesia yang berhasil mendapat kesempatan tinggal di negara lain adalah orang-orang yang memang mencintai negeri ini. Sedangkan pembenci-pembenci seperti saya malah dikutuk dan tidak diberikan kesempatan oleh Tuhan–jika Tuhan memang ada–untuk terus menetap di Indonesia.

Karena saya membenci negara ini maka bagi saya tidak ada salahnya menghina simbol/pejabat negara setingkat presiden sekalipun. Toh, saya hanya menghina, bukan membunuh dan mencelakakan dia. Entah ada beberapa banyak orang seperti saya di Indonesia. Bahkan, jika sebagian besar rakyat negeri ini menghina presiden, apakah dia serta merta bisa digoyang pemerintahannya? Tidak, orang itu akan tetap menduduki kursinya. Maka dari itu saya jadi aneh saja jika presiden tambah melankolis dan staf-stafnya–dalam hal ini mentrinya–malah ikutan mellow.

Rakyat dibikinkan peraturan, hukum, undang-undang sedemikian rupa agar si “Bapak” sumringah, terjaga wibawanya dan terus mendapat penghormatan. Ada kutipan kata-kata dari sejarawan dan senator di masa Romawi kuno, Cornelius Tacitus (56 AD-117 AD), “The more corrupt the state, the more laws.”

Peraturan demi peraturan dibuat demi keteraturan dan manusia menjadi kelinci-kelinci percobaan hukum, terutama rakyat biasa yang hanya melihat mereka-mereka yang mengurusi negara berpolah tingkah sambil menuntut untuk dianggap istimewa. Martin Luther King Jr. pernah bilang, “Never forget that everything Hitler did in Germany was legal.” siapa yang melegalkan? ya hukum, peraturan, pembuatnya dan penyelenggaranya.

Jadi, ketika menghina presiden dilarang, apakah ada pilihan lain untuk para pembenci seperti saya? Ya, mari doakan saja agar dia mati cepat.

Tinggalkan komentar