Polarisasi dan Politisasi Agama


Berikut petikan wawancara Hatib dari Center for Religious & Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta dengan MC Ricklefs, penulis buku Polarizing Javanese Society. Islamic and Other Visions (C. 1830-1930) (2007).

Isu menarik yang diangkat adalah polarisasi dan politisasi agama di Indonesia, di mana kian kemari semakin marak terjadi. Selain itu nampak pula pendapat beliau terhadap kelompok-kelompok keagamaan yang beraliran puritan berupaya untuk menggeser tradisi, budaya, dan nilai-nilai yang telah menjadi titik tolak berdirinya sebuah negara bangsa seperti Indonesia.

Polarisasi Aliran dan Politisasi Agama dalam Masyarakat Indonesia

Sebuah Wawancara dengan MC Ricklefs

Hatib: Apa kabar baru dari bentuk polarisasi Islam di Indonesia?

Ricklefs: Ya sangat dinamis, di Jawa itu ada hal yang umum dimana orang yang bekas PKI, lalu masuk Kristen, dan juga banyak yang berlatar belakang kebatinan, ya sebagian memang masuk Islam, tapi sebagian juga masuk Kristen. Baru baru ini ada informasi dari Jawa Barat, oleh kolega saya, Pak Ali, itu menarik sekali, karena ada satu kelompok yang mempunyai agama tersendiri, agama Jawa Sunda Wiwitan, itu jadi semacam kebatinan, lalu mereka menganut itu. Dan pada awal Orde Baru mereka itu merasa terancam, lalu masuk Kristen, sekarang keluar lagi dan mendirikan lagi agama Jawa Sunda Wiwitan itu.

Hatib: Kenapa mereka tidak masuk Islam?

Rickflefs: Nah itu masih kami selidiki.

Hatib: Ini saya juga sedang melakukan penelitian tentang gang di sekolah-sekolah Islam di Yogyakarta, yang ternyata mereka mempunyai afiliasi kuat terhadap kampung-kampung Islam seperti Kauman, dan partai politik Islam seperti PPP, dan mereka juga punya rivalitas yang kuat dengan gang sekuler, atau mungkin abangan, dan geng sekolah Non Muslim dan kampung kampung abangan, seperti salah satu penelitian gangster di antropologi juga mengungkapkan bahwa ada permusuhan mendalam antara warga kampung Islam di Kauman dengan kampung “abangan” Mergangsan yang juga berafiliasi ke PDI P.

Ricklefs: Wah ya, menarik sekali itu, saya dapat kesan bahwa politik aliran itu sebetulnya melemah, kepentingan dan pertentangan antara abangan dan Islam itu tidak begitu berarti. Karena sekarang pihak abangan tidak lagi diwakili oleh salah satu parpol, meski PDI P dan Golkar itu sangat mendekati pihak Golkar, tapi mereka tidak mau mewakili salah satu pihak saja, dan mencoba merasa di tengah. Rupanya banyak politisi mencegah adanya politik aliran, karena ini berbahaya. Tapi dalam hal penelitian Hatib ini rupanya jangan-jangan masih berlaku politik aliran atau mungkin bahwa parpol-parpol sebenarnya hanya kendaraan bagi gang-gang itu. Jadi sebenarnya mereka tidak mempunyai kesadaran aliran, dan parpol apapun bisa menjadi kendaraannya.

Hatib: Ya, itu khusus pada pemilu tahun 1999 dan 2001 dimana partai politik juga masih menggunakan kekuatan politik aliran dan massa seperti gangster gangster yang dianggap punya masa loyal.

Ricklefs: Ya Jogja memang selalu menarik sekali, lantas bagaimana peran Sultan dalam politik aliran itu juga penting untuk dipertanyakan. Seminggu sebelum Pemilu di Yogya, saya pernah ikut pengajian di sebuah kampung yang sangat kuat PPP nya. Jadi pemisahannya itu dibedakan berdasarkan orang yang pro demokrasi dan yang anti demokrasi, ada yang tidak anti tapi demokrasi digunakan semacam “parlemen dakwah” dan ada juga orang yang anti parlemen, termasuk salah satunya Abu Jibril. Tentu orang yang dari PKS ini menarik sekali, karena mereka bilang bahwa demokrasi sebetulnya merupakan peluang yang harus diambil. Tapi tujuannya juga sama, yakni Khilafah,. Hehehehe…Tapi mereka juga menganggap membela demokrasi, padahal salah satu dari anggotanya pernah bilang bahwa demokrasi dan Islam itu sama sekali tidak cocok, hehehe, dia seorang anggota partai PKS di DPP Sleman.

Hatib: Lantas kemana sekarang entitas “abangan” itu?

Ricklefs: Nah kesan saya begini, sampai abad pertengahan sembilan belas itu, kelompok abangan baru muncul. Dan pada tahun 1950 an kelompok abangan itu ada yang merepresentasikan mereka, yakni dua partai yang sangat kuat sekali pada waktu itu PNI dan PKI. Kalau kita lihat pada kampanye tahun 50 an itu menarik sekali, ya dalam kelompok santri memang ada perbedaan cukup tajam juga, seperti Masyumi dan NU yang sangat berbeda sekali. Pada waktu itu, mayoritas orang Jawa, yang sama juga dengan mayoritas orang Indonesia lainnya, buta huruf, mereka tidak bisa membaca, yang penting adalah slogan-slogan, symbol, nyanyian dsb, dan itu adalah kendaraan politik. Misalnya PKI di cap sebagai Partai Kriminal Indonesia, kenapa PKI dianggap seperti itu, karena mereka akan mencuri tanah. Sedangkan NU dianggap sebagai partainya wong Nunggu Udan (Menunggu Hujan), karena mereka dianggap tidak bergerak. Malah ada perpindahan, orang santri yang tinggal dalam kampung abangan itu pindah ke kampung santri, demikian juga sebaliknya. Menarik juga ada laporan dari tim penelitian Geertz itu, Robert Jay, dia kesana dengan Geertz pada tahun 1953 kalo nggak salah, tapi Jay kembali lagi pada tahun 1958, dan ada satu laporan yang menarik sekali, dia bilang pada waktu pertama kali dia datang, biasanya perempuan santri tidak selalu memakai kerudung, perempuan abangan biasanya tidak pakai kerudung, tapi kadang kadang kalau keluar itu pakai kerudung. Sedangkan pada tahun 1958 perempuan santri itu tidak pernah keluar tidak pakai kerudung, dan perempuan abangan tidak pernah sama sekali pakai kerudung lagi. Ini adalah satu tanda bahwa perbedaan itu sangat digarisbawahi. Dan puncak perbedaan ini adalah pada pertengahan tahun 60 an yang berakhir dengan pembunuhan massal. Tapi menurut saya ada satu langkah lagi, yakni fusi parpol2 pada tahun 70 an. Nah pihak abangan itu selalu diwakili oleh Parpol, tapi selain itu tidak ada, malah budaya abangan agak anti institusi sebenarnya. Semua institusi yang tidak begitu kuat mewakili agamanya, seperti abangan itu dihapuskan.

Melainkan pada pihak santri, walaupun parpol parpol dianggap tidak ada, masih ada pengajian, rumah sakit, ada badan amal usaha, ada sekolah, ada pesantren. Jadi banyak sekali institusi yang masih membela dan mewakili pihak santri. Nah oleh karena itu, gelombang islamisasi itu, bisa berjalan tanpa ada halangan sama sekali, tidak ada institusi yang menghalangi sama sekali, oleh karena itu sebetulnya agak susah sekali untuk menghitung berapa banyak orang abangan, berapa banyak orang Islam, semua survey dan sebagainya agak kesulitan. Menurut perhitungan saya, pada tahun 50 an, mungkin kira kira ¼ orang jawa adalah santri, itu berdasarkan berapa banyak orang yang membayar zakat. Misalnya orang2 abangan banyak sekali yang memilih parpol NU, karena mereka mengakui kepemimpinan seorang kyai, walaupun tidak bersembahyang, tidak berpuasa, dan sebagainya, tapi mengakui bahwa kyai sebagai pemimpin masyarakat. Tapi sekarang itu orang yang mengaku diri sebagai abangan mungkin tidak lebih dari 1/4. Tapi semua survey itu memang diragukan juga.

Tapi itu juga masalah metode juga, karena kalo ada tim dari UIN mau melakukan penelitian turun ke masyarakat dan bertanya pada seseorang “apakah kamu bersembahyang?” jawabnya “woo bersembahyang” walaupun mungkin tidak. Heheheheh….Tapi walaupun begitu orang2 yang dianggap santri memang dianggap mayoritas. Ada perubahan sosial yang sangat mendasar, hipotesis saya ialah berdasarkan satu proses di seluruh dunia, semenjak tahun 1960 an, hampir semua agama di seluruh dunia menguat, yang pertama adalah gerakan protestan di Amerika, lalu sesudah itu tahun 70 an itu Islam, tahun 80 an malah Hindu. Dan Indonesia merupakan sebagian dari fenomena itu. Kesadaran agama itu hampir menguat di seluruh tradisi keagamaan di seluruh dunia, kecuali di Eropa, itu yang menarik sekali, kenapa tidak terjadi di Eropa? Ini suatu pertanyaan yang besar sekali.

Hatib: Jadi mereka yang belong to PDI itu belum dianggap abangan pada tahun 70 an?

Ricklefs: Orang orang yang masih dianggap sebagai abangan masih ada, mereka akan berkoalisi dengan Golkar, dan PDI P juga masih ada banyak. Justeru sebaliknya, dari informasi kami, ada satu kasus yang menarik di Kediri. Karena keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menetapkan kemenangan calon legislative berdasarkan suara terbanyak itu mempunyai dampak penting sekali. Karena pada umumnya, partai politik di Indonesia itu lemah, nah sekarang lebih lemah lagi. Karena orang memilih berdasarkan orang, bukan partai. Di sana ada contoh kasus kader PPP yang menarik sekali, ada orang dari satu kampung yang menganggap diri sebagai abangan yang kuat sekali, tidak pernah sembahyang, tidak pernah ke mesjid dan sebagainya, tapi ia menjadi calon kader PPP yang mendukung PPP bukan karena partai itu, tapi karena dari kampungnya.

Hatib: Kalau relasi antara santri-abangan; santri-priyayi; priyayi-pemerintah kolonial sejak usainya Perang Jawa; gerakan mesianistik-pemerintah kolonial; SI-Muhammadiyah, Boedi Oetomo-Taman Siswa; dan relasi gerakan tarekat naqsabandiyyah dan Satariyyah itu telah terpetakan, baik relasi maupun polarisasinya, lantas bagaimana dengan relasi abangan dengan pemerintah kolonial?

Ricklefs: Begini, pemerintah kolonial Belanda selalu mengajak kerjasama dengan elit. Kalau ingin memperdayakan masyarakat itu sebenarnya hanya pada tingkat politik, jadi supaya melancarkan upaya-upaya pasti mereka memilih priyayi yang punya ketaatan tinggi. Mereka juga sering mencurigai misionaris misionaris, karena mereka menganggap bahwa misionaris itu sebagai orang orang yang akan menimbulkan kesulitan dalam masyarakat. Jadi sebenarnya bukan orang Kristen yang mendapatkan dukungan, melainkan orang Islam kebanyakan yang juga priyayi. Jadi orang abangan kebanyakan yang tinggal di kampung hubungannya agak jauh dengan pemerintah kolonial, jadi hubungan mereka dengan Priyayi. Kalau pemerintah Jepang, justeru memobilisasikan kaum abangan, berbeda dengan tujuan Belanda yang selalu untuk mengontrol masyarakat, tujuan jepang memobilisasi.

Hatib: Lantas bagaimana dengan gerakan mesianistis sempalan atau juga gerakan kebathinan yang muncul sejak 1850 dan marak di 1870-1880 an?

Ricklefs: Hampir semuanya itu berasal dari pihak abangan, karena kehidupan spiritualitas mereka juga sangat kental sekali, penuh dengan roh-roh, dan kekuatan ghaib. Tapi biasanya kalo kita melihat gerakan kebathinan seperti ini selalu hampir bergantung kepada pemimpin, jadi sesudah pemimpinnya meninggal, biasanya gerakan ini akan mati. Kalau kita melihat sekarang misalnya, setahun yang lalu saya di Surabaya dan melihat ada seorang tokoh kebathinan dan bapak itu bilang ada suatu pertemuan kebathinan di Jawa Timur, saya lupa persis tempatnya, dan menurut dia ada 4000 orang yang hadir, dan dia bangga sekali. Kalau kita kembali pada awal tahun 1970 an, ada sensus di Solo, pada waktu itu mereka belum punya kategori-kategori agama yang resmi, itu mereka masih mencatat kebathinan dan jumlah penganutnya sekitar 40 ribu orang. Kalo misalnya masing-masing di seluruh kota Jawa Tengah ada 40 ribu orang, maka itu jumlah merupakan suatu perbedaan yang besar sekali dibanding sekarang. Jadi dahulu mereka kuat sekali.

Hatib: Dalam gambaran sejarawan, Sartono Kartodirdjo, sepanjang tahun-tahun 1860-1890 banyak sekali gerakan-gerakan mesianistik Islam yang muncul secara sporadis, apa penyebabnya?

Ricklefs: Salah satunya ialah perubahan abad Masehi yang dibarengi dengan perubahan abad dalam perhitungan Jawa, ini banyak sekali gerakan millenarian yang mempercayai bahwa abad baru akan mendatangkan penyelamat baru terhadap situasi yang buruk. Juga di Eropa terjadi seperti ini, dalam peralihan antara abad ke 19 dan 20. Tapi yang paling penting adalah lebih ditekankan pada penanggalan Jawa.

Hatib: Munculnya gerakan seperti HTI, MM, yang tidak sudi mengakui sistem demokrasi di Indonesia, apakah ini ada cerminan dari adanya polarisasi di abad pertengahan abad 19?

Ricklefs: Biasanya, dimana saja, dalam agama apapun, dalam masyarakat apapun, kalau ada suatu gerakan baru yang datang dan bilang mereka datang kesini untuk memurnikan “kamu” pasti ada suatu reaksi, ada yang ikut, dan selalu ada banyak yang menentang, dan rupanya HTI adalah gerakan2 wahabi pada umumnya yang melihat masyarakat dianggap belum sempurna, sehingga mereka hendak memurnikan. Sudah lihat buku baru yang dikeluarkan oleh Wahid Institute, “Ilusi Negara Islam”. Itu salah satu langkah oposisinya.

Hatib: Tapi bagaimana dengan nasib gerakan radikal seperti ini kedepannya?

Ricklefs: Gerakan radikal itu selalu terpecah di dalamnya.

Hatib: Oya, itu seperti FPI, di Bantul ada pecahannya, FJI (Front Jihad Islam) yang anggotanya 135 orang, dan tidak setuju dengan tindakan tindakan Habib Rizieq.

Ricklefs: Ya, ada juga kelompok baru Abu Bakar Ba’asyir yang pecah dari Majelis Mujahidin, tapi itu masih kecil barangkali. Di sisi lain, ini ada juga fenomena menarik bahwa ada suatu gejala hampir di seluruh Indonesia, pasca otonomi daerah, semua daerah mencari sesuatu yang khas dari daerahnya, dan maskot lokal, dan sebagainya. Itu sering yang dicari adalah dari jaman Pra Islam, seperti tarian lokal, kerajaan lokal. Apalagi Ini merupakan suatu proses yang memperkuat heterogenitas antar daerah. Melainkan Islam hendak menghomogenisasikan. Jadi memang ada dua gelombang yang bertentangan pada tingkat kebudayaan. Misalnya di Kediri lagi, dari pemerintahan lokal, mereka mau menggunakan tarian tayub sebagai maskot daerah, dan wah semua kyai memberontak, itu dianggap terlalu sensual. Sekarang jaranan juga sangat kuat, karena persis pada masa Soeharto itu agak lemah, sekarang itu kuat sekali ada dimana2, karena bukan hanya dianggap bermuatan lokal, tapi juga mempunyai kekuatan ghaib, dan kyai2 memang agak kurang senang dengan itu. Dan saya mempunyai empat rekan, dari Yogya, Solo, Kediri dan Surabaya yang memperkaya bahan2 saya, yang dari Kediri menarik sekali. Dalam pilkada baru2 ini ada beberapa calon yang didukung oleh para kyai, termasuk Gus Riza anaknya kyai Imam, malah ada beberapa calon dari keluarga kyai, dan semuaaaaaanya kalah. Satupun tidak lolos dari sekitar 8 calon. Apalagi setahun yang lalu, ada pemilihan walikota, ada sekitar 5 calon pasangan, 4 dari pasangan calon itu di dukung oleh para kyai, dan yang menang adalah seorang dari Muhammadiyah, dengan wakil walikota yang malah seorang keturunan Arab. Jadi jelas pengaruh kyai2 dalam kepemimpinan politik mulai menurun, dan masyarakat tampaknya ingin mencari sesuatu hal yang baru.

Hatib: Yah, kemarin Jusuf Kalla dan Wiranto masih datang ke para kyai untuk mengumpulkan suara dan mencari dukungan.

Ricklefs: Ya tapi memang selalu ada yang begitu untuk mencari dukungan, meski belum tentu mereka menang. Dulu ada orang berpendapat pengaruh tokoh-tokoh itu memang penting, tapi sekarang menurun, termasuk pengaruh politik Sri Sultan, di Yogyakarta. Yogyakarta tidak pernah untuk mendukung Golkar secara resmi, meski Sultan menganggap dirinya adalah seorang tokoh Golkar. Kelihatannya kehidupan tokoh-tokoh politik di Indonesia itu sangat individual sekali, misalkan tahun 2004 orang yang mendukung parpol salah satu partai pemilu yang pindah pada pemilu presiden itu banyak sekali. Jadi memang tidak ada loyalitas terhadap parpol. Jadi mereka mendukung PDI P sebagai seorang yang loyal, ndak, mereka mendukung PDI P pada bulan april dan berganti pada bulan depan.

Hatib: Apa yang menyebabkan munculnya gerakan radikal di Indonesia demikian berkembang demikian pesat pasca Orde Baru, bahkan HTI mengklaim sudah punya anggota lebih dari 1 juta, padahal gerakan ini kan dilarang tidak hanya di Jerman, tapi juga di negara-negara Timur Tengah?

Ricklefs: Pertama, itu karena HTI dianggap tidak mengancam keamanan oleh tentara. Di luar dianggap sebagai gerakan ekstrim, tapi tidak pernah terlibat dalam kegiatan terorisme. Dan kesan saya kelompok2 yang ekstrim itu sudah mengakui bahwa terorisme hanya akan menghilangkan dukungan dari banyak orang, terutama dukungan dari klas menengah, karena klas menengah itu yang selalu menentukan nasib politik suatu negara, dan HTI ini memang cukup pintar, apalagi PKS, kecuali kalau kasus seperti di Monas kemarin, itu cukup membahayakan, tapi gerakan seperti HTI ini, mereka selalu mengajak diskusi dan sejenisnya. Oleh karena itu mereka bergerak secara damai agar tidak bisa dihapuskan oleh negara dan militer. Juga terutama dari militer, kalau politik sipil itu gagal, itu merupakan keuntungan militer dan sebuah peluang untuk merebut kekuasaan lagi.

Hatib: Lantas bagaimana dengan partai-partai Islam yagn menjadi “rising star” pada pemilu kali ini seperti PKS?

Ricklefs: Ya partai ini di luar perkiraan, karena telah mematok 20 persen suara, kenyataannya hanya dapat 7 persen. PKS memang lebih profesional, dan berdisiplin. Tapi secara metode gerakan, partai PKS ini mempunyai banyak kesamaan dengan PKI, keduanya lebih aktif pada tingkat akar rumput, mereka sangat berdisiplin, jauh lebih profesional dan dicurigai oleh partai lain punya hidden agenda. Ada satu tesis dari Masdar Hilmi yang sangat bagus sekali, dia membedakan orang2 di PKS itu antara utopian yang percaya kepada khalifah dan millienaris yang merupakan gerakan dari Kristen, mereka menganggap dunia ini sebagai dunia yang tidak sempurna, oleh karena itu mereka mencari perbaikan. Ini bukan utopian, karena hanya mencari sesuatu yang lebih baik. Kesan saya, dalam parpol PKS mereka semuanya bias bekerja sama kalau arahnya sama, meski tujuannya berbeda. Dan dari kaum utopian itu juga berdekatan dengan HTI, asal mereka bekerjasama dengan orang lain itu pasti maju. Kalau melihat pada Pemilu 1999 hanya mencapai kurang dari 6% dan pemilu sekarang sudah 7% dan itu merupakan bukti bahwa strateginya memang berhasil mencapai kemenangan. PKS itu selalu mencari dukungan dari medan politik yang tengah, yang bersih dan peduli, dan tidak menekankan dukungan terhadap syariah, karena itu akan malah mengancam keberedaan masa depannya.

Hatib: Menanggapi buku terbaru dari Wahid Institute, “Ilusi Negara Islam” yang kemudian ditentang keras oleh HTI, kira-kira bentuk polarisasi apa lagi yang akan terjadi 10-20 tahun ke depan, apakah sejarah akan berirama seperti polarisasi antar kepercayaan dan agama seperti pada tahun 1830-1950?

Ricklefs: Yang paling mengesankan saya ialah, bahwa parpol-parpol sekarang rupanya semuanya berupaya untuk menjembatani perbedaan aliran untuk mencegah adanya polarisasi. Dulu Partai Demokrat dianggap sebagai partai sekuler, tapi mereka mencari dukungan dari PKS, PBB, PPP dan sebagainya, meskipun ada selalu banyak slogan, itu partai agamis, sekularis. Kondisi ini juga berdasarkan pendidikan dari berbagai gerakan-gerakan islamis. Apakah itu akan menimbulkan bentuk polarisasi baru? Kemungkinan bahwa suatu politik aliran akan muncul lagi, saya kira tidak bakal terjadi, karena politik aliran itu akan sangat berbahaya sekali. Tapi ada polarisasi antara gerakan-gerakan di dalam Islam itu sendiri, jadi bukan polarisasi antara Islam dan abangan, melainkan polarisasi antara NU-Muhammadiyah, PKS-MMI. Saya pernah tanya kepada Kyai Idrus Marzuki, dia bilang bahwa Negara kita akan dihancurkan oleh pihak HTI, MMI, lalu saya tanya, kalau begitu bagaimana pihak NU akan dia bilang bahwa kami masih mempunyai ilmu, heheheheheee….

Hatib: Ya, dulu Farish Noor pernah wawancara dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, kata Ba’asyir segala bid’ah dan sesuatu yang syirik harus dihilangkan dari muka bumi Indonesia, lantas ketika ditanya, bagaimana dengan keberadaan Candi Prambanan dan Borobudur, apakah perlu dihancurkan, lantas jawab ba’asyir, “oh kalau itu jangan itu bagian dari peninggalan budaya”

Ricklefs: Saya juga bertanya kepada Abu Bakar Ba’asyir mengenai hal itu. Dan dia bilang bahwa apa saja yang tidak menganut syirik dan maksiat, itu boleh diterima. Lantas saya tanya, ok kalau begitu bagaimana dengan wayang kulit? “Oh itu Syirik” jawabnya, lantas bagaimana dengan tarian Bedhaya, dia jawab “oh itu syirik”, saya bertanya bagaimana dengan keris? “Oh itu syirik”. Jadi pada prinsipnya semua budaya Jawa itu diterima oleh Abu Bakar, tapi pada praktiknya semua itu tidak diterima. Lantas ketika saya tanya bagaimana dengan Bahasa Jawa, dijawabnya “yah itu akan hilang dengan sendirinya”. Di daerah ini, di dekat Ngruki, dia bilang sudah hampir tidak ada orang yang berbahasa Jawa, semua berbahasa Indonesia. Dia orangnya menarik, sangat baik, tapi sangat sempit pikirannya. Sesungguhnya sangat susah berjumpa dengan dia, karena orang yang membela dia itu, mencurigai semua orang. Saya bisa ke sana dengan kolega saya, sejarawan dari UNS, Pak Soedarmono, dan jelas Abu Bakar Ba’asyir melihat pak Darmono sebagai orang kejawen. Dia menjelaskan sesuatu mengenai syariat Islam, lalu saya tanya, bagaimana itu bisa diketahui dengan pasti, karena sejak 1400 tahun yang lalu itu juga terjadi perdebatan tentang syariat Islam, dengan keberadaan agama lainnya, seperti Kristen dan Yahudi. Lalu saya tanya, apakah anda diarahkan atau pasti ada ilham? Karena tuduhan dari orang lain, anda ini semacam Syiah. Lalu dia mengatakan bahwa Tuhanlah yang telah mengarahkan saya, wah ini menarik, karena terdengar sangat arogan.

Kami juga mewawancarai seorang anggota HTI di Surabaya, dia bilang bahwa sistem khilafah itu merupakan sebuah sistim politik yang sempurna. Lalu saya tanya, mengapa tiga khalifah sebelumnya mempunyai kesulitan dan melakukan korupsi yang cukup besar, bahkan juga khilafah turki utsmani itu melakukan korupsi yang sangat besar, lalu dia bilang itu bukan sistem yang salah, melainkan orangnya. Lalu kolega saya Haidir bertanya, kalau begitu bagaimana menjalankan sistem tanpa orang? Pembelaan anggota HTI itu sama dengan pembelaan para penganut sistim komunisme, padahal banyak sekali orang yang mengkritik sistim komunis itu. Karena mereka melihat Negara-negara di Eropa Timur, Uni Soviet dan sebagainya, lalu mereka membela bahwa itu bukan sistem yang salah, melainkan orang yang menjalankannya. Hehehe, sistim tanpa orang itu kan aneh…hehehe…

Hatib: Oke baik pak, terima kasih atas waktu bincang-bincangnya. Salam kami dari CRCS.

Ricklefs: Ya ya, tolong sampaikan salam saya kepada Mas Suhadi.

Tinggalkan komentar