Jihad, Terorisme, dan Stigmatisasi


oleh: kupret el-kazhiem

Di Italia ada La Costra Nostra alias mafia kelas kakap yang menebarkan teror bagi warga sipil biasa dan mungkin menyuap kepolisian, tetapi mereka mengaku sebagai umat Katholik yang taat, apa lantas agama mereka bisa dijustifikasi atau mendapat stigmatisasi atas agama mereka? Di Irlandia ada IRA yang pernah merepotkan dunia dengan aksi terorisme mereka, tetapi apakah agama protestan mereka patut dipersalahkan sebagai akar dari teror yang mereka perbuat? Atau tentara zionis yang menembaki warga Palestina, apakah patut mengira semua pemeluk Yahudi akan berbuat sama? Jawabannya sama sekali tidak, agama tetap berdiri otonom meskipun manusia-manusia yang merepresentasikan agama-agama itu secara berbeda. Mengapa berbeda? Representasi yang ditampilkan pemeluk agama jelas berwarna-warni; ada yang moderat, toleran, liberal, hingga radikal. Lantas mengapa ketika muncul aksi teror bom (terutama di Indonesia) yang dilakukan oleh beberapa orang Islam, maka stigmatisasi Islam sebagai agama biang terorisme langsung melekat? Apakah ini benar-benar sebuah stigma yang berangkat dari ramalan akan benturan peradaban antara Barat yang notabene pusat dari christendom dan Timur dengan Islamdomnya?

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Saya pernah berbicara dengan tetangga saya ketika menyinggung isu terorisme. Penilaiannya akan ciri khas seorang teroris adalah begitu sederhana dan tidak lebih dari pakaian kurung (jalabiyah) ala timur tengah, berjanggut, dan untuk perempuannya mengenakan jilbab besar. Bukan hanya dia saja yang berbicara begitu, waktu itu saya ingat ketika salah satu perempuan di keluarga saya yang pernah menghadiri acara undangan pernikahan di sebuah hotel bersama suaminya. Kebetulan dia berjilbab besar dan berwarna hitam, dan ketika mereka memasuki hotel, betapa sikap petugas keamanannya sangat berlebihan. Pemeriksaan mobil dilakukan secara khusus dan penggeledahannya membutuhkan waktu panjang meskipun sudah diperlihatkan kartu undangan pernikahan, bahkan sampai diinterogasi macam-macam. Stigmatisasi seperti ini di tengah masyarakat sudah demikian melekat.

Ketidakmampuan menggunakan nalar kritis yang kerap kali diidap komunitas muslim dalam memberikan penilaian terhadap suatu fenomena sebenarnya cukup mengherankan. Oleh karena seringkali memberikan justifikasi berdasarkan stigma-stigma atau label-label belaka. Bahkan media-media semacam televisi pun ikut membantu membesar-besarkan. Dari pagi hari sampai tengah malam saya mengikuti siaran tentang kejadian pembunuhan Dulmatin cs di Pamulang oleh densus 88 (saya lebih suka mengatakan demikian karena faktanya mereka mati di tangan polisi), hampir stasiun televisi yang menayangkan pemberitaan tentang kejadian tersebut memilintir makna akan Jihad. Mereka membuat penafsiran dan pemaknaan sendiri terhadap Jihad, salah satu ajaran dalam Islam yang sebenarnya bukan berarti secara mutlak adalah Perang (bahkan secara etimologis sangat jauh berbeda). Yang disayangkan adalah ketika mereka (para stasiun televisi itu) melakukan indoktrinasi terhadap pemirsa dengan menyiarkan bahwa tindakan terorisme di Indonesia disebabkan oleh doktrin Jihad. Titik dan tanpa koma, tanpa meneliti terlebih dahulu mengenai Istilah jihad tersebut.

Saya tertawa ketika menyaksikan seorang reporter televisi swasta berkata bahwa slogan yang terpampang di sebuah stiker yang berbunyi ‘Be a good Moslem or die as Syuhada’ adalah sebuah ‘keanehan’. Saya tidak tahu apa agama si reporter tersebut, tetapi jika saja dia seorang muslim, apakah dia tidak pernah mengetahui bahwa di dalam agamanya ada istilah mati syahid.

Be a good Moslem or die as Syuhada” atau kurang lebih diartikan “Hidup sebagai muslim yang shalih atau mati sebagai syuhada”, syuhada adalah bentuk plural dari syahid atau mati sebagai orang-orang yang syahid. Dalam ajaran Islam, syahid adalah cita-cita dan ganjaran tertinggi umat Islam ketika sampai pada akhir hayatnya karena telah berjihad selama hidup di dunia. Namun mengapa kemudian makna syahid direduksi sedemikian rupa menjadi hanya sebatas orang yang mati dalam sebuah peperangan atau mirisnya lagi mati sebagai martir bom bunuh diri. Paradigma keliru ini seharusnya sama-sama dibenahi oleh intelektual muslim, dan media massa yang termasuk sebagai salah satu instrumen untuk mencerdaskan generasi-bangsa, semestinya bisa memberikan pengetahuan terhadap makna jihad sesungguhnya, alih-alih memberikan stempel seenak mereka dengan kacamata pengetahuan ajaran syariat Islam yang minim.

Jika kita melihat secara komprehensif mengenai makna Jihad, yakni merupakan derivasi dari kata Jahada yang artinya bersungguh-sungguh, dan kemudian jihad bisa pula diartikan berjuang, bukan berarti perang an sich. Konotasi pejoratif terhadap jihad adalah muncul karena tidak bisa membedakan mana yang disebut jihad ataupun terorisme. Padahal jelas-jelas Rasul saw. menjelaskan seorang ibu yang meninggal ketika berjuang (berjihad) melahirkan anaknya pun mendapat ganjaran setimpal sebagai seorang yang mati syahid, kemudian orang-orang yang mati dalam proses menuntut ilmu atau seorang ayah berjuang menafkahi keluarganya ikhlas karena Allah juga mendapat ganjaran serupa. Oleh karena itu filosofi hidup dalam ajaran Islam pada hakikatnya adalah berjuang, seorang muslim harus berjuang dalam hidup ini; mendidik keluarga, menafkahi keluarga, membantu orang lain, menolong sesama, bekerja keras, menjadi pemimpin negara dan lain sebagainya, jika semua itu dibingkai dalam kerangka mengharap ridha Allah, ikhlas dan menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya, maka demikianlah jihad seorang muslim di dunia.

Tapi dengan kacamata empirik, akhirnya yang tersirat dalam pikiran masyarakat adalah stigmatisasi jihad sebagai ajaran atau bagian dari terorisme atau teror itu sendiri. Inilah yang terjadi sebetulnya dalam wajah empiris kita. Padahal jelas dalam Islam seorang muslim dilarang membunuh sesama manusia, dan dalam berperang pun Islam melarang perang jika belum diperangi, contohnya rakyat Palestina yang ditindas pendudukan Israel, muslim Uighur yang dianiaya militer China, muslim Bosnia yang dibantai tentara Serbia. Bagi mereka bentuk jihad terbaik adalah perang. Sedangkan aksi pemboman yang terjadi di Jakarta, Bali, ataupun daerah lain, sudah jelas bukanlah jihad tapi murni terorisme walaupun kelompok yang melakukannya mengatasnamakan Islam atau pemeluk agama Islam. Namun bukan berarti seenaknya label terorisme itu disematkan bagi Islam; jihad adalah teror, jihad merupakan ajaran Islam, maka Islam adalah terorisme dan dan umat muslim adalah teroris. Pemberitaan yang demikian ini yang sesungguhnya menyesatkan masyarakat.

Logikanya sederhana, para koruptor negeri ini banyak yang beragama Islam, tetapi bukan berarti Islam mengajarkan orang untuk korupsi. Sekali lagi saya kecewa dengan pemberitaan media negeri ini, bukannya mencerdaskan tetapi malah membangun sebuah teori yang berasal dari subjektifitas belaka. Dan selanjutnya pemirsa-pemirsa yang menonton pastinya akan menafsirkan dan memahami apa yang ditayangkan media, baik itu secara tekstual atau kontekstual. Yang secara tekstual akan menelan bulat-bulat apa yang disiarkan oleh media, sedangkan yang secara kontekstual, akan berusaha menelaah lebih lanjut mengenai istilah jihad itu sendiri, apakah terdapat pelbagai macam pengertian, dan bagaimana pengertian yang dipahami oleh para tersangka teroris.

Patut ditekankan bahwa simbol-simbol keagamaan itu mempunyai makna dan tidak melekat pada agama itu sendiri, karena bagaimanapun juga, simbol adalah representasi dari kultur, budaya, dan pemaknaan individu atau masyarakat yang tak pernah terlepas dari ruang dan waktu. Dalam mengkaji simbol, tak bisa semuanya digeneralisasikan. Sebut saja lambang swastika di beberapa negara atau komunitas agama begitu dihormati, sedangkan ketika dibalik arah putaran swastikanya, akan menjadi lambang Nazi yang begitu dibenci di Eropa dan Amerika, bahkan sangat dilarang. Kemudian simbol trisula yang sering digambarkan di film-film, buku, internet sebagai senjata setan, akan tetapi dalam mitos Yunani kuno adalah senjata dari Poseidon yang sangat dipuja-puji oleh masyarakat sebagai Dewa laut. Contoh lain adalah baju koko atau baju panjang dengan dua kantung di samping kiri dan kanan bawah, dahulu ketika saya di pesantren sering dibilang baju takwa oleh karena para guru dan pimpinan pondok sering mengatakannya demikian dan memakai baju itu setiap shalat dan mengaji. Itulah simbol, interpretasinya melekat pada pemaknaan yang dilakukan oleh otoritas agama atau otoritas politik tertentu, atau bahkan masyarakat awam.

Pakaian, atribut, tulisan, atau bahasa sekalipun adalah produk dari budaya, manusia memiliki interpretasinya masing-masing. Apalagi terhadap agama, apakah orang yang berjilbab besar sampai menyentuh tanah dan berpakaian jalabiyah adalah sebagai representasi orang yang beragama (baca: berislam)? Saya rasa tidak, mereka hanya mengamalkan agama sesuai interpretasi dan pemahaman mereka bahwa itulah yang paling dekat dengan kebenaran, di sisi lain ada pula orang-orang yang beragama dengan cara non-simbolisasi, yang tak perlu mengenakan dan mengedepankan atribut-atribut sebagai ‘jubah depan’. Akan tetapi semua cara beragama, semua penafsiran terhadap teks agama, dan semua pemahaman atas ajaran-ajaran agama itu sendiri adalah sesuatu yang patut dihargai sebagai manifestasi pluralisme pemikiran keagamaan.

Yang menjadi permasalahan kemudian adalah adanya ‘Klaim dan kooptasi bahwa penafsiran, pemikiran, pemahaman yang berasal dari individu atau kelompok tertentulah yang paling benar sehingga menganggap yang lainnya adalah salah, tersesat, menyimpang, kafir dan murtad. Jika Klaim yang demikian ini dibawa pada level ekskalasi yang lebih tinggi maka akan mengakibatkan pemaksaan kepada masyarakat tentang bagaimana cara beragama mereka, baik itu dengan jalur totaliterian melalui formalisasi bentuk negara agama (teokrasi) maupun dengan cara unifikasi doktrin agama dengan mengangkat otoritas keagamaan yang legal oleh Negara. Bentuk pemaksaan lain juga dapat berasal dari aktor-aktor lain selain Negara (non-state actors), semisal; gerakan-gerakan ideologis yang ada di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, untuk menanggulangi adanya penggiringan ke arah satu pemaknaan terhadap Jihad oleh berbagai pihak, dan melawan stigmatisasi terhadap komunitas muslim, terutama di Indonesia serta mencegah kristalisasi pemikiran keagamaan. Maka menurut saya diperlukan nalar kritis umat muslim dalam membaca persoalan di tengah masyarakat, demikian pula hendaknya menghindari sikap otoriter dengan mengkooptasi bahwa hasil panafsiran pribadinya-lah yang paling benar sementara pemikiran, pemahaman, penafsiran orang lain adalah salah besar.

Tinggalkan komentar